Kabar Terbaru dari Praktik Cerdas Tahun 2018

Hari ini lima tahun lalu di panggung yang sama Lakoat.Kujawas hadir berbagi inspirasi. Komunitas berbasis gerakan warga dari Pegunungan Mollo Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) NTT ini, kembali hadir untuk menyampaikan kabar baik, “Surat-Surat dari Mollo”, dari Kakak-Adik dan Bapa-Mama di Desa Taiftob.

Surat-surat dari Mollo adalah jalan panjang membangun kekuatan sipil, membangun kekuatan berbasis kampung, membangun kekuatan berbasis warga. “Kami berangkat dari semangat keberlanjutan melalui kerja-kerja pendokumentasian dan pengarsipan pengetahuan lokal terutama yang ada di Mollo” ungkap Dicky Senda, inisiator Lakoat.Kujawas.

Gerakan ini juga merespons krisis identitas dan minimnya ketersediaan arsip budaya lokal. “Saya dan anak-anak muda Timor lainnya merasa bahwa kami mengalami krisis identitas, orang Timor tapi tidak kuat secara akar dan budaya, sementara arsip pengetahuan Timor sangat terbatas, jika pun ada itu harus diakses di perpustakaan Leiden, disitulah Lakoat.Kujawas memiliki inisiatif bagaimana jika pengetahuan-pengetahuan lokal itu dikerjakan dan diarsipkan oleh warga untuk kepentingan kampung itu sendiri,” Dicky menjelaskan.

Lakoat.Kujawas dibentuk pada 2016 sebagai ruang bersama untuk anak-anak muda belajar, berkegiatan, dan ber-solidaritas. Gerakan ini mengaktifkan kembali ruang-ruang budaya yang hilang dari komunitas. Atas keberhasilan itu, pada 2018 Lakoat.Kujawas mendapat kesempatan menyambangi United Kingdom untuk berbagi pengetahuan dengan berbagai negara melalui program drivers for change dari British Council. Pada tahun yang sama, mereka juga menjadi bagian dari Praktik Cerdas Festival FKTI VIII.

Lakoat.Kujawas mengembangkan pendekatan ekosistem warga aktif (Active Citizens). Model ini menekankan peran aktif warga, terutama generasi muda. Anak menjadi titik tengah pada ekosistem ini dan didukung oleh stakeholder di sekitarnya seperti gereja, sekolah, orang tua, tokoh adat, pemerintah desa, NGO, aktivis, relawan, seniman, dan sebagainya. Pada akhirnya, anak sebagai generasi muda mendapat ruang yang cukup untuk berperan dalam lingkungannya. “Mereka mampu bersuara untuk menyampaikan pemikirannya di kampung,” ujar Dicky.

Gerakan literasi dengan membangun perpustakaan warga sebagai ruang belajar bersama adalah inisiatif pertama yang dilakukan Lakoat.Kujawas. Dalam perjalanannya ruang membaca untuk mengakses buku-buku saja tidak cukup. Menurutnya, perlu ada gerakan pengarsipan dan pendokumentasian yang melibatkan warga. “Di sini kami menggunakan model residensi komunitas yang melibatkan teman-teman peneliti, aktivis, seniman, yang datang dan tinggal bersama kami, ini menjadi suatu ruang baru di desa bagaimana kerja-kerja membangun kebudayaan literasi,” Dicky menjelaskan.

Selain kolaborasi dengan sekolah untuk mengembangkan kurikulum Merdeka Belajar, Lakoat-Kujawas juga mengembangkan ruang pendidikan alternatif bagi warga, Skol Tamolok. Setiap bulan ada dua kali pertemuan mengundang tokoh-tokoh adat, seniman, artisan tenun, Mama-mama, Bapa-bapa untuk berbagi pengetahuan dan kearifan lokal.

Dalam kerja-kerja arsip dan pendokumentasian, pengetahuan terbanyak yang dikumpulkan adalah pengetahuan terkait pangan lokal atau tradisi pangan lokal. Lakoat.Kujawas lalu mengembangkan gastronomi tur. “Orang datang bukan saja menikmati makanan tapi mereka juga diajak melihat bagaimana ekosistem yang mendukung pangan itu dibangun,” katanya.

Beberapa tahun terakhir Lakoat.Kujawas mengembangkan satu model food lab, laboratorium pangan berbasis komunitas. Bermodal dari donasi yang dikumpulkan lewat twitter, sebesar 30 juta rupiah, mereka membangun food lab sebagai ruang kreatif warga. “Setiap dua minggu sekali bapa-mama, anak-anak berkumpul di food lab itu untuk merespons kekayaan pangan lokal, bahkan berkembang menjadi program kecil pemberi makanan tambahan dan makanan.”

Sebagai bentuk pelibatan aktif, Lakoat.Kujawas juga melakukan kolaborasi dengan pemerintah desa untuk merancang pemetaan spasial dan sosial. “Ini akan menjadi peta sosial dan spasial pertama di Kabupaten TTS untuk desa kami dan untuk kampung tempat kami tinggal,” kata Dicky bangga.

Berbagi pengalaman pengelolaan komunitas ini, Dicky Senda mengungkapkan bahwa salah satu yang dilakukan Lakoat.Kujawas sebagai komunitas warga adalah sistem yang dibangun setara. “Kami menolak bentuk-bentuk hirarki, di Lakoat.Kujawas semua bergerak bersama sebagai koordinator,” tegasnya.

Ia melanjutkan tentang pentingnya membangun ruang pendidikan kritis bagi anak perempuan, membangun kesadaran kritis tentang lingkungan tempat tinggal, dan perkuat  ekosistem kolektif sebagai warga sipil. “Nilai-nilai lokal dari masyarakat itu diadaptasikan ke dalam program-program yang kami lakukan,” tukasnya.

Di penghujung presentasinya, Dicky berbagi proyek-proyek yang sedang dikembangkan, antara lain pengembangan foodlab (integrasi cafe, rumah residensi dan ruang lokakarya). Lakoat.Kujawas juga menyusun program kolaborasi untuk kurikulum merdeka belajar (siswa belajar jadi EO pameran arsip dan pensi). Terakhir, pada Oktober nanti komunitas ini akan menerima residensi 10 penulis Indigenous Asia-Australia bersama RMIT Melbourne.

“Itu saja kabar baik, Surat-surat dari Mollo, yang kami bawa. Salam dari kami.” ujarnya menutup panggung.