• adminbakti
  • 28 August 2023

Dyah Kusuma: Cintai Budaya Selamatkan Bumi

Di Panggung Inspirasi, Dyah Kusuma (Founder Limau Jiko Spice Creative Center) membawa peserta sejenak membayangkan tentang Jailolo. Kesultanan yang sempat hilang dan kembali ada sejak 2003 ini merupakan bagian dari empat kesultanan besar di Maluku Utara. Jailolo kini adalah satu kecamatan yang menjadi ibu kota Kabupaten Halmahera Barat. Lantas, ada apa di Jailolo? 

Di sana ada Suku Sahu yang ciri kebudayaannya hampir punah, seperti tenun dan rumah adat. Tenun suku Sahu sudah langka dan tidak ada lagi penenunnya. Sementara rumah adat suku Sahu adalah tempat untuk melakukan upacara Orom Sasadu, tradisi makan bersama untuk menjaga keselarasan hubungan manusia dan lingkungan alam sekitar. Selain suku Sahu ada juga suku Tabaru, suku pemburu dengan baju terbuat dari kulit kayu. Baju ini pun kini sudah tidak dibuat lagi. 
 
Ada banyak cerita turun-temurun yang Dyah dapatkan ketika berkeliling Jailolo. Cerita itu tak dapat ditemukan pada literatur mana pun kecuali di Leiden, Belanda. Inilah yang membuat Dyah merancang inovasi untuk menjaga budaya Jailolo. “Saya membayangkan mereka perlu ruang untuk menyampaikan cerita kebudayaan dan sejarah mereka sendiri,” katanya. 

Bersama Limau Jiko, Dyah berinisiatif membuat festival yang menjadi ruang masyarakat untuk menceritakan apa yang mereka yakini dan mereka jalankan untuk merawat kebudayaan dan alam. Tradisi Sigofi Ngolo misalnya, ini adalah ritual untuk menjaga laut khususnya di pesisir. Ketika menangkap ikan, masyarakat Jailolo tidak menggunakan cara bajubi melainkan menggunakan senar pancing untuk menjaga karang. 

Empat tahun lalu Dyah mendapatkan lahan di pinggir Teluk Jailolo di Desa Bobanehena. Ia berpikir bahwa festival satu tahun sekali saja tidak cukup, maka ia berinisiatif membangun resort. Ini akan menjadi rumah bagi masyarakat Jailolo untuk menceritakan siapa diri mereka. Sebaliknya, ini juga menjadi rumah bagi siapa saja yang ingin mengetahui tentang Jailolo. 

Resort yang dibangun Limau Jiko menggunakan arsitektur yang terbuat dari bambu. Ini merupakan bagian dari upaya memberdayakan sumber-sumber yang ada di sana. Bagi masyarakat Jailolo, bambu dianggap sebagai hama karena banyak tumbuh liar di tanah mereka. Saat membuka lahan, bambu-bambu ini biasanya dibakar begitu saja. Setelah berdiskusi dengan beberapa desa dan pendekatan dengan Jemaat Gereja, ada 4 desa yang bersedia untuk mensuplai bambu ke Limau Jiko. Bambu yang semula tidak ada nilainya itu kini menjadi berharga. “Kami beli dari masyarakat satu bambu air atau bambu petung seharga 40rb dan bambu tali 15rb, untuk tahap pertama kami sudah pakai 10rb bambu, saat ini ada 3 bangunan yang sedang berjalan dan masih akan berlanjut lagi,” papar Dyah. 
  
Tak hanya bambunya saja yang dibeli, masyarakat juga diajarkan mengolah bambu menjadi sebuah bangunan, antara lain cara mengawetkan dan membuat atap atau pelupuh. Saat ini sudah berdiri bangunan restoran yang dikelola bersama masyarakat desa dengan konsep gastronomi. “Di Bobanehena ada cara memasak yang disebut rimo, kami ceritakan itu ke tamu, kami ingin membangun kesadaran masyarakat bahwa budaya mereka sangat menarik dan punya cerita luar biasa,” Dyah menjelaskan. 

Limau Jiko bekerja sama dengan nelayan untuk suplai ikan. Namun untuk menjaga keseimbangan alam dan tradisi, pihaknya hanya menerima ikan yang dipancing dengan cara tradisional saja. 

Limau Jiko juga mendukung ibu-ibu penggerak di Jailolo untuk mengolah kembali kulit pala menjadi sirup dan olahan lainnya seperti dendeng. Bekerja sama dengan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), Limau Jiko mengembangkan wisata rempah sehingga pengunjung memahami asal rempah mulai dari kebun hingga sampai ke restoran. Limau Jiko juga melatih pemuda lokal untuk membantu di restoran dengan standar hospitality. 

Keterlibatan anak muda dalam menjaga tradisi juga banyak sekali. Mereka berinisiatif menjaga tenun yang hampir punah dan melakukan revitalisasi. Mereka dilibatkan dalam melestarikan budaya merawat diri menggunakan ramuan khusus dari tumbuh-tumbuhan. “Kami ajak mengumpulkan formulasinya kemudian memproduksi ulang menjadi sabun, kami juga mengajak mereka menanam kembali tumbuhan itu di sekitar rumah.” 

Merawat budaya dan menjaga keselarasan dengan alam, upaya inilah yang setidaknya sedang dilakukan Limau Jiko. “Kami menyediakan ruang untuk merawat budaya dan merawat alam kemudian menceritakan kepada semua orang, yang tak kalah penting bagi kami adalah kolaborasi dengan komunitas lokal,” pungkas Dyah.

Simak presentasi Dyah Kusuma di FFKTI IX