• adminbakti
  • 28 August 2023

Ambrosius Kodo: Memperkuat Kolaborasi untuk Ketangguhan Daerah Menghadapi Bencana”

Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah provinsi dengan potensi kebencanaan cukup besar. Statistik bencana alam menunjukkan telah terjadi 843 kejadian sepanjang 1999-2021 dengan korban jiwa sebanyak 588 orang. Ini belum terhitung kerugian harta benda, kerusakan lingkungan dan dampak psikologis yang ditimbulkan. 

Berdasarkan indeks risiko bencana yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2022, juga menunjukkan bahwa 10 Kabupaten/Kota di NTT berisiko tinggi dan 12 kabupaten/kota berisiko sedang. Sementara untuk indeks multi bencana, 11 Kabupaten/Kota di NTT berisiko tinggi dan 11 kabupaten/kota berisiko sedang. “Tidak ada satu pun kabupaten berada dalam risiko rendah, begitu juga dengan aspek multi ancaman,” ujar Ambrosius Kodo (Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi NTT). 

Hari ini di panggung inspirasi, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi NTT bercerita tentang langkah inovatif yang dilakukan untuk menghadapi bencana. Ada lima praktik baik dalam membangun kolaborasi untuk memperkuat sistem pada pra, saat dan setelah terjadi bencana. 
 
Praktik pertama adalah kolaborasi peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk aparatur BPBD Provinsi NTT. Upaya ini dilakukan melalui kolaborasi banyak pihak. Kerja sama BPBD dengan Program Siap Siaga fokus untuk membangun pusat pengendalian dan operasi penanggulangan bencana yang beroperasi sejak 1 Januari 2022. Selain itu, BPBD juga berkolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk menyiapkan kebutuhan teknologi informasi pada pusat pengendalian informasi dan penanggulangan bencana. Sementara kerja sama dengan World Food Program (WFP) fokus pada upaya membangun tata kelola bencana kekeringan. Melalui Australia Indonesia Health Security Partnership (AIHSP) BPBD sedang meningkatkan pengetahuan terkait Zoonosis. 

Praktik baik kedua adalah kolaborasi melalui forum belajar ketangguhan bencana. Ini merupakan platform berkumpulnya semua pihak yang tertarik belajar tentang penanggulangan bencana. Setiap bulan dilakukan diskusi serial tentang peningkatan ketangguhan berbasis komunitas. Serial belajar ini melibatkan akademisi, praktisi, masyarakat desa untuk mendapatkan pengetahuan kearifan lokal ketika menangani bencana. 

Praktik baik ketiga adalah kolaborasi membangun kesiapsiagaan yang inklusif. Dalam upaya penanggulangan bencana, BPBD Provinsi NTT berupaya menempatkan keadilan dan kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial dalam upaya penanggulan bencana. “Tidak ada satu orang pun terabaikan dalam penanggulangan bencana,” ungkapnya. 

Praktik baik keempat adalah kolaborasi penyusunan kebijakan penanggulangan bencana. BPBD telah meninjau ulang peraturan gubernur tentang penanggulangan bencana yang memuat tentang inklusifitas. Inilah yang menjadi payung yang dapat menaungi upaya melibatkan banyak pihak. “Dalam upaya penanggulangan bencana, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, maka penting untuk mengelola sumber daya yang ada, kuncinya adalah bagaimana memberi ruang dan melibatkan semua untuk berkontribusi dalam upaya penanggulangan bencana,” Ambrosius menjelaskan. 

Contoh pengelolaan sumber daya dilakukan antara lain dengan melibatkan perangkat desa. Membangun ketangguhan mulai dari desa dan kelurahan tangguh bencana. BPBD menggandeng Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, sehingga perangkat desa juga berperan dalam penanggulangan bencana. 

Praktik baik kelima adalah kolaborasi penanganan darurat. BPBD memiliki tiga rencana  kontijensi yaitu melalui gladi ruang, gladi posko, dan gladi lapangan. Model tersebut dirancang dengan melibatkan masyarakat yang inklusif. Penanganan kedaruratan secara kolaboratif di Provinsi NTT pertama kali dilakukan saat mendirikan posko tanggap darurat bencana Seroja. “Saat itu posko level provinsi didirikan, BPBD menjadi sekretariat yang mengkoordinasikan semua kolaborasi, mengelola desk relawan, dan memastikan tidak terjadi penumpukan sumber daya tertentu di suatu lokasi sementara di lokasi lain terjadi kekurangan,” Ambrosius bercerita. 

Baginya, penanganan bencana Seroja adalah penanganan luar biasa karena semua pihak bisa terlibat. Ketika kolaborasi terjadi dengan baik maka urusan yang berat saat penanganan tanggap darurat lebih mudah dikerjakan. Kerja-kerja penanggulangan bencana pun semakin inovatif dan kreatif.

Simak presentasi Ambrosius Kodo di FFKTI IX