• adminbakti
  • 30 August 2023

Side Event di FFKTI IX: Menyoal Perdagangan Orang Nusa Tenggara Timur dan Menagih Komitmen Negara

Mitra Nasional INKLUSI - Migrant Care

Pembicara:

  • Suster Laurentia Suharsih SDP – JPIC Divina Prudentia, Kupang
  • Siwa – Kepala BP3MI Kupang
  • Wahyu – Migrant Care
  • Pdt. Emmy Sahertian – Komunitas Hanaf, Kupang

Moderator: 
Mulyadi – Project Manager Migrant Care

Kasus perdagangan orang hingga saat ini masih menjadi problem yang belum terselesaikan meski telah menjadi bahan pembicaraan di berbagai forum nasional maupun internasional. Masih banyak berita sedih mengenai perdagangan orang seperti yang dirilis oleh BP2MI bahwa setiap harinya ada dua peti jenazah yang masuk ke tanah air dalam kurun tiga tahun terakhir.

Siwa, Kepala BP3MI Kupang, menyebutkan bahwa ada beragam masalah yang dihadapi PMI. Di antara masalah tersebut yang utama adalah penempatan PMI yang dilakukan secara non prosedural. Berdasarkan data BP3MI, pada 2023 kasus PMI non prosedural sebanyak 199 kasus.

Ia menjelaskan bahwa penempatan PMI secara non prosedural disebabkan karena kurangnya akses informasi migrasi aman, kualitas SDM dan modus operandi sindikat atau calo. Ia juga menambahkan bahwa migrasi non prosedural ini dapat berujung pada Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPP) karena tidak memiliki proses yang jelas.

Menyoal perdagangan manusia, salah satu hal yang perlu digarisbawahi adalah peran kesepakatan perlindungan pekerja migran dan perdagangan manusia itu sendiri. Hal ini disampaikan oleh Suster Launrentia Suharsih, JPIC Divina Prudentia Kupang. Menurutnya, di beberapa wilayah pelosok banyak pekerja migran yang menjalani proses migrasi non prosedural tanpa perlindungan yang memadai. Bahkan ada aparat kepolisian daerah setempat yang terlibat dalam pencarian orang-orang yang ingin menjadi pekerja migran.

Tidak adanya perlindungan yang memadai ini termasuk dalam hal pemulangan jenazah PMI. Suster Laurentia telah beberapa kali membantu keluarga tidak mampu untuk pemulangan jenazah. Pil pahit harus mereka telan karena negara tidak memfasilitasi kepulangan jenazah non prosedural. Hal ini mengusik rasa kemanusiaan Suster Laurentia untuk membantu setiap keluarga PMI yang datang kepadanya.

Ia menceritakan bahwa biaya memulangkan jenazah tidak sedikit, berkisar 20-30 juta. Dengan besaran biaya tersebut, pihak yayasan tidak mampu untuk menanggungnya. Maka untuk menutupnya ia biasa menggalang donasi. Namun demikian, ternyata upaya kemanusiaan itu tidak selalu dipandang baik. Baru-baru ini Suster Laurentia mendapat tuduhan eksploitasi jenazah PMI karena aksi kemanusiaannya itu. Tidak tanggung-tanggung, tuduhan itu berasal dari pejabat pemerintah.

Cerita bermula ketika ada kepala desa dari daerah pelosok meminta bantuannya untuk memulangkan jenazah PMI. Kepala desa tersebut sudah mencoba meminta bantuan KBRI tetapi tidak mendapat respons. “Sebenarnya, kepala desa daerah setempat telah bersurat ke pemerintah terkait bantuan kepulangan jenazah PMI, saya juga membuka donasi dan ada beberapa donasi yang masuk ke rekening Yayasan, karena berita kepulangan jenazah yang butuh bantuan ini viral, Duta Besar RI untuk Malaysia, Hermono, mengatakan bahwa saya dan tim melakukan eksploitasi jenazah PMI,” tutur Suster Laurentia.

Ia menegaskan bahwa donasi yang terkumpul benar-benar digunakan untuk pemulangan jenazah. Sementara Duta Besar RI untuk Malaysia juga menegaskan bahwa tidak benar bila pemerintah tidak memfasilitasi kepulangan jenazah PMI. Beliau meminta untuk ditunjukkan bukti dimana pemerintah tidak memfasilitasi kepulangan jenazah PMI.

Suster Laurentia lantas menjelaskan bahwa jenazah yang pihaknya bantu kepulangannya memang berasal dari keluarga tidak mampu dan menjadi PMI melalui cara non procedural. Bila status PMI tersebut non prosedural maka negara tidak memfasilitasi kepulangan jenazah, sehingga keluarga tersebut membutuhkan bantuan. “Tentu saja kami tidak asal menggalang donasi namun kami benar-benar ingin membantu kepulangan jenazah PMI, kami hanya melakukan kerja-kerja kecil kemanusiaan, belum banyak yang kami lakukan bagi negeri ini,” tuturnya.

Menanggapi hal ini, Pdt. Emmy Sahertian dari Komunitas Hanaf Kupang, mengatakan bahwa pemulangan jenazah PMI di NTT bisa dikatakan sudah seperti “majalah bulanan” atau sebagai peristiwa yang sudah sering terjadi. Per 25 Juli 2023, tercatat jenazah yang dipulangkan ke NTT merupakan jenazah ke-80 dan 81.

Menurutnya, peraturan perundang-undangan di Indonesia belum melindungi para pekerja migran, terlebih bagi PMI yang berstatus non prosedural dan bekerja pada sektor informal. “Mereka selalu menjadi korban, PMI baik yang prosedural maupun non prosedural harus mendapat perlindungan yang sama, undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan pekerja migran harus diamandemen dan berbasis nasionalisme bukan berbasis kasus,” ujarnya.

Sementara itu, Wahyu Susilo dari Migrant Care juga menjelaskan hal serupa. Salah satu persoalan yang penting untuk dibenahi adalah tata kelola kebijakan. Kebijakan yang memiliki potensi diskriminasi harus diakhiri. “Potensi diskriminasi seperti dikotomi PMI prosedural dan non prosedural, dikotomi PMI skill dan non skill, dikotomi sektor formal dan informal maupun ilegal dan legal, dikotomi ini memiliki potensi adanya diskriminasi pada PMI yang menjadi korban,” tegasnya.

Highlights side event ini dapat Anda saksikan melalui tautan