• adminbakti
  • 30 August 2023

Side Event di FFKTI IX: Adaptasi Efektif dan Solusi Berbasis Kearifan Lokal yang Berkeadilan

Koalisi Voices for Just Climate Action NTT

Pembicara:

  • Lunggi Randa – Pemuka Adat Kampung Wundut, Kabupaten Sumba Timur, NTT
  • Lia Wanda – Perwakilan Mura Rame Hub
  • Maria Mone Soge – Aktivis Pangan Lokal Desa Hewa Kabupaten Flores Timur, NTT
  • Joni Messakh – Pewaris Mangrove Desa Tanah Merah, Kabupaten Kupang NTT

Moderator: 
Yurgen Nubatonis – Hutan itu Indonesia, Koalisi Kopi


Program Voices for Just Climate Action (VCA) fokus mendorong peningkatan kapasitas dan pembelajaran masyarakat sipil dan berbagai kelompok marjinal, terutama mereka yang paling terdampak perubahan iklim agar memiliki ruang sipil yang inklusif. Kelompok ini diharapkan dapat berperan sebagai inovator, fasilitator, advocator dan mitra strategis para pemangku kepentingan, sehingga transisi iklim berkeadilan dapat direalisasikan.

Pada side event ini peserta diajak belajar dari empat aksi local champion dalam adaptasi efektif dengan melakukan solusi berbasis kearifan lokal yang berkeadilan. Aksi tersebut dilakukan melalui berbagai upaya memanfaatkan potensi kearifan lokal yang sesuai dengan wilayahnya, baik melalui adat istiadat, pengembangan pangan lokal, melakukan konservasi lingkungan, hingga menjadi simpul jejaring komunitas yang melakukan berbagai banyak hal positif.

 

Maria Mone Soge atau akrab disapa Shindy Soge adalah aktivis pangan lokal Desa Hewa Kabupaten Flores Timur, NTT. Shindy dan gerakan pangan lokal aktif menyerukan mengolah dan mengkonsumsi setiap bahan makanan yang bersumber dari kemampuan sendiri.

 

Ia mengungkapkan bahwa dampak perubahan iklim yang dirasakan adalah krisis pangan. “Pangan kita ada pada titik yang lemah, semakin hari produktivitas kita mengalami penurunan karena dampak perubahan iklim,” ujar Sindy.

Hal ini diperburuk dengan kondisi tidak dikelolanya pangan lokal dengan baik, pun minat konsumsinya rendah. “Padahal kaya dan beragam tapi sekarang lebih pilih makanan bergengsi, sementara ubi, pisang, sorgum mulai ditinggalkan, padahal cita rasa dan khasiatnya bagus, seperti sorgum yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit,” Sindy menjelaskan.

Ada banyak inisiatif yang sudah dikembangkan Shindy bersama aktivis pangan lokal lainnya. Mereka menggali kembali makanan lokal yang ada di desa, seperti menanam dan merawat sorgum kemudian mengemasnya dengan lebih bagus untuk dipasarkan. Mereka juga menanam sayuran dan tanaman holtikultura lainnya dengan cara organik. Untuk kebutuhan pupuk, mereka mengolah sampah untuk dijadikan pupuk organik, juga mendaur ulangnya sebagai media tanam, serta membudidayakan maggot untuk pakan ternak. Sementara untuk menumbuhkan kembali minat masyarakat terhadap pangan lokal, mereka selalu hidangkan pangan lokal di setiap acara sebagai bagian dari edukasi.

 

Lia Wanda dari Mura Rame Hub bercerita bagaimana menjaga alam dengan memobilisasi anak muda. Mura rame merupakan perkumpulan anak muda untuk inisiatif lintas isu termasuk perubahan iklim yang berasal dari Flores Timur dan Pulau Lembata. Mura rame berarti senang sama-sama, menggambarkan semangat anak muda untuk melakukan kegiatan dengan Bahagia.

Beberapa inisiatif yang dilakukan untuk aksi peduli perubahan iklim salah satunya pembuatan film Muro. Lia menjelaskan bahwa Muro adalah kearifan lokal untuk tidak mengambil hasil laut dalam waktu tertentu di suatu kawasan tertentu. Inisiatif lainnya yang dilakukan adalah aktivitas menghitung jejak karbon di setiap kegiatan dan mengkonversinya dengan menanam pohon. Ada juga inisiatif untuk konservasi menanam karang. “Saat air surut kami lakukan bekarang atau menanam karang, kami kadang ambil ikan yang masih kecil sehingga merusak karang, ini bagian dari bentuk tanggung jawab kami,” ujar Lia.

Sementara Lunggi Randa, Pemuka Adat Kampung Wundut, Sumba Timur – berjuang agar tradisi Marapu tetap terjaga dan menjadi bentuk merawat bumi di tengah perubahan iklim yang sedang terjadi. Ia mengatakan bahwa orang Sumba berelasi dengan hutan sehingga penting untuk melestarikan hutan adat.

 

Joni Mesakh - Pewaris Mangrove Desa Tanah Merah Kabupaten Kupang NTT, menceritakan perjuangannya menanam mangrove. Upayanya merupakan bentuk kepedulian terhadap abrasi yang terjadi akibat tambang pasir. “Kalau tidak dihentikan rumah akan hancur karena gelombang pasang,” ujar Joni.

Ia pun mulai menanam mangrove sejak 2005. Awalnya ia hanya menanami lima hektar lahan dengan 50 ribu pohon mangrove, hingga kini wilayah pesisir Desa Tanah Merah tersebut telah ditumbuhi 145 hektar lahan mangrove. Ternyata, usaha yang nampak kecil dan sederhana ini berhasil menjadi sesuatu yang besar. Saat ini, mangrove yang ditanam Joni berhasil melindungi warga dari dampak perubahan iklim dan menjadi sumber pendapatan masyarakat.

Highlight side event ini dapat Anda simak melalui tautan