• admin
  • 15 September 2025

Pelatihan Orang Tua Pendukung Sebaya: Mencegah Eksploitasi Seksual Secara Daring dan Kesehatan Mental Remaja

Yayasan BaKTI bekerja sama dengan UNICEF menyelenggarakan pelatihan Orang Tua Pendukung Sebaya Untuk Pencegahan Eksploitasi dan Kekerasan Seksual Anak di Ranah Daring, Perlindungan Anak pada Situasi Darurat dan Kesehatan Mental Remaja pada 8-10 September 2025. Kegiatan yang berlangsung di Hotel Swiss-Belinn Panakkukang Makassar ini bertujuan untuk menjadikan Orang Tua yang merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri mengambil peran dalam mengurangi risiko kekerasan seksual berbasis daring atau disebut juga Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA).


Kegiatan pelatihan ini diikuti oleh 34 orang perwakilan dari desa/kelurahan di lima kabupaten/kota yaitu Kota Makassar, Kabupaten Maros, Gowa, Bone dan Wajo. Dari  Makassar diikuti oleh Kelurahan Tamamaung, Maccini Sombala, dan Pattingalloang. Dari kabupaten Maros diikuti oleh Desa Temmappaduae, Bontomarannu-Lau, dan Sambueja. Kabupaten Gowa diikuti oleh Desa Bellapunranga, Ja’ne Madinging, dan Kanjilo. Sementara dari Kabupaten Bone diikuti oleh Desa Cumpiga, Ajjalireng, Mallari dan Abbumpungeng, dan dari Kabupaten Wajo diikuti oleh Kelurahan Tempe, Desa Mattirowalie, Limporilau dan Lompoloang. Masing-masing desa-kelurahan tersebut diwakili oleh 2 orang peserta orang tua. 

Arni Oktavia Amir, Fasilitator masyarakat dari Desa Temmappaduae, Maros sebagai narasumber menjelaskan bahwa terdapat 6 jenis eksploitasi/kekerasan seksual daring yang pernah dialami oleh banyak anak seperti materi yang menampilkan kekerasan atau eksploitasi anak seperti foto-foto pribadi, grooming online atau bujuk rayu, sexting atau percakapan seksual online, sextortion atau pemerasan, cyber bullying atau bully secara daring, streaming atau video live yang menunjukkan bagian-bagian tubuh yang tidak seharusnya ditunjukkan secara terbuka. Karena itu jangan pernah membagikan foto dan informasi pribadi kepada orang lain tanpa tujuan yang jelas dan baik.  


Selain memberikan pemahaman tentang masalah dan jenis-jenis OCSEA yang sering ditemui masyarakat beserta risikonya yang berakibat pada eksploitasi, peserta juga dibekali dengan kemampuan dasar tentang bagaimana membantu anak dan remaja terlepas dari gangguan mental dan tetap mampu berkembang dan menggapai masa depan yang lebih berkualitas dengan memberikan materi tentang Membantu Remaja Berkembang atau Help Adolescent Thrive (HAT). Materi ini disampaikan oleh Iyan Afriyani HS, M.Psi seorang Psikolog Klinis pendiri Klinik Psikomorfosa.


Materi ini membekali peserta dengan pengetahuan tentang bagaimana memahami remaja, manajemen stres, pemecahan masalah, dan keterampilan komunikasi untuk orang tua kepada remaja sehingga bisa membantu remaja dalam mengatasi masalah mental yang dihadapi baik yang bersumber dari ranah daring maupun dari ranah luring dalam kehidupan sehari-hari.       

Pada kegiatan ini, diidentifikasi pesan-pesan kunci tentang OCSEA dan HAT yang nantinya akan disampaikan kepada sesama orang tua di desa dan kelurahan masing-masing. Pesan-pesan kunci ini berfungsi sebagai kalimat singkat yang bisa memicu pertanyaan orang lain yang mendengarnya untuk memahami lebih dalam tentang OCSEA dan HAT, sehingga semakin banyak agen pendukung yang ada pada berbagai desa yang siap membagi pengetahuan dan menyelamatkan lebih banyak anak dari masalah terkait OCSEA dengan menggunakan cara pada materi HAT. 

“Kegiatan ini sangat bermanfaat sebagai langkah pencegahan terhadap dampak negatif sosial media dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan” lebih lanjut dikatakan dengan ini kita bisa terjun langsung ke masyarakat dan orang terdekat untuk berbagi informasi terkait materi pelatihan yang sudah di dapat”. Ungkap Ibu Nanna dari Desa Kanjilo Kabupaten Gowa.


Senada dengan itu, Yusbar, pengurus Karang Taruna desa Mattirowalie, Wajo mengatakan “Ini bisa menjadi edukasi parenting Pencegahan dan Penanganan terkait dengan OCSEA dan sangat membantu juga untuk memahami kesehatan mental remaja yang bisa disampaikan dengan mudah pada kegiatan-kegiatan di desa kami seperti kegiatan karang taruna dan pertemuan Masyarakat”. 

Laporan Disrupting Harm (2022) oleh ECPAT, INTERPOL, dan UNICEF menunjukkan bahwa hampir satu dari tiga anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual di ranah daring, dengan anak-anak penyandang disabilitas sebagai kelompok paling rentan sebagai akibat dari perkembangan teknologi digital yang cukup pesat.

Efek dari kondisi ini adalah anak mengalami gangguan mental serius seperti kecemasan, depresi dan gangguan perilaku. Berdasarkan Survei Nasional Kesehatan Mental Remaja Indonesia (I-NAMHS) tahun 2022 oleh Kementerian Kesehatan dan UNICEF, satu dari tiga remaja (34,9%) mengalami setidaknya satu gangguan kesehatan mental, dan tidak banyak dari mereka yang bisa mengakses layanan psikologis yang memadai.